Buyaathaillah's Blog

Mudzakarah Menyikapi Khilafiyah dan Bid’ah

“Khilafiyah, Furuiyah, Sunnah dan Bid’ah”

Dr. Amir Faishol Fath, MA
(Alumni Pondok Pesantren Al Amien Parenduan, Sumenep, Madura)

Korbankan persatuan umat demi fanatisme furuiyah adalah kebodohan atas agamanya.

Kaidah ushul fikih: laa inkara fil mukhtalaf fiihi (tidak boleh ada pengingkaran dalam khilafiyah).

Kaidah berikutnya: tidak ada paling benar dalam masalah khilafiyah furuiyah.

Kaidah berikutnya: tidak ada bid’ah dalam khilafiyah furuiyah. Menghakimi bid’ah terhadap khilafiyah furuiyah adalah kesalahan.

Bukan ikut sunnah jika yang hukumnya sunnah diwajibkan. Biarkan yang hukumnya sunnah tetap sunnah jangan diwajibkan.

Bid’ah terjadi hanya dalam wilayah ushul bukan wilayah khilafiyah. Seperti shalat subuh empat rakaat. Ini bid’ah. Baca qunut bukan bid’ah.

Cinta Nabi ushul. Maulidan adalah khilafiyah furuiyah. Maka yang salah yang tidak cinta Nabi dan yang menyerang khilafiyah.

Membaca lailaha illallah: ushul. Tahlilan: khilafiyah furuiyah. Yang salah yang tidak ucapkan lailaaha illalah dan yang serang khilafiyah.

Tidak ikut sunnah yang serang khilafiyah. Sebab Nabi biarkan sahabatnya berbeda pendapat dalam hal furuiyah.

Tidak ikut sunnah yang hanya ikut amalan nabi sekitar ritual saja. Sebab sunnah Nabi juga mengurus pasar, ekonomi dan negara.

Bukan seorang fakih, yang keluarkan hukum sesuatu adalah haram dan bid’ah dengan alasan Nabi tidak pernah kerjakan.

Khilafiyah terjadi karena tidak ada dalil khusus. Ini tugas fikh. Yang bukan fakih jangan ikut-ikutan. Biar tidak rancu.

Kekacauan terjadi karena adanya orang-orang yang bukan fakih ikut-ikutan ngurus fikih lalu merasa dirinya berhak tandingi Imam Syafii dan imam-imam lainnya.

Khilafiyah itu sudah dibahas oleh ulama. Masing-masing punya dalil. Kita tinggal ikut saja. Bukan menghakimi yang lain.

Memilih pemimpin: ushul. Gunakan demokrasi: furu’. Maka salah yang tidak mau pilih pemimpin karena alasan furu’.

Dzalim terhadap Nabi dan Islam yang sempitkan sunnah hanya sekitar ritual. Sementara mengurus negara tidak dianggap sunnah.

Sebaiknya jangan mengaku muslim jika serang Islam dan umat Islam. Apalagi bela kebatilan dan kesesatan.

Yang membuat umat Islam Indonesia tidak berdaya adalah munculnya orang-orang mengaku muslim tapi serang umat Islam dan bela kebatilan

Macam-Macam Ikhtilaf, Tidak Semua Perbedaan Pendapat Diterima

Syaikh Al-‘Allamah Sholih Al-Fawzan berkata, “Ikhtilaf (perbedaan pendapat) ada beberapa macam:

القسم الأول : الإختلاف في العقيدة وهذا لا يجوز ؛ لأنَّ العقيدة ليست مجالاً للاجتهاد والاختلاف لأنَّها مبنية على التوقيف ولا مسرح للاجتهاد فيها ، والنبي – صلى الله عليه وسلم – لمَّا ذكر افتراق الأُمة إلى ثلاث وسبعين فرقة قال : ( كُلُّها في النار إلاَّ واحدة ) . قيل : من هم يا رسول الله !؟ قال : ( هُم من كان على ما أنا عليه وأصحابي )

Pertama, perbedaan dalam masalah aqidah. Khilaf dalam hal ini tidak diperbolehkan, karena perkara aqidah tidak membuka ruang ijtihad di dalamnya maupun perbedaan pendapat. Perkara aqidah dibangun di atas dalil dan menutup pintu ijtihad. Hal itu tatkala Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan tentang perpecahan umat menjadi 73 golongan beliau menegaskan, “Semuanya di neraka kecuali hanya satu golongan saja yang selamat. Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah mereka (golongan yang selamat itu) wahai Rosulullah? Beliau menjawab, “Mereka adalah orang yang beragama dengan cara beragamaku dan cara beragama para Shohabatku.”

القسم الثاني : الخلاف الفقهي الذي سببه الاجتهاد في استنباط الأحكام الفقهية من أدلتها التفصيلية ، إذا كان هذا الاجتهاد مِمَّن تَوَفَّرت فيه مؤهلات الاجتهاد ، ولكنه قد ظهر الدليل مع أحد المجتهدين ؛ فإنَّه يجب الأخذ بما قام عليه الدليل وترك ما لا دليل عليه

Kedua, perbedaan pemahaman. Khilaf (perbedaan) dalam hal ini muncul karena adanya ijtihad ketika mengambil kesimpulan hukum fiqh dari dalil-dalilnya secara rinci, selama ijtihadnya itu memenuhi syarat dan berasal dari para ahlinya. Akan tetapi, jika dalilnya telah nampak di hadapan salah seorang mujtahid, maka wajib baginya mengambil yang sesuai dalil dan meninggalkan perkara yang tidak ada landasan dalilnya.

قال الإمام الشافعي – رحمه الله – : ( أجمعت الأُمَّة على أنَّ من استبانت له سُنَّة رسول الله – صلى الله عليه وسلم – لم يَكُن ليدعها لقولِ أَحد . وذلك لقول الله تعالى : فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً )

Al-Imam Asy-Syafii – rohimahullah – berkata, “Para Ulama telah bersepakat, bila telah jelas gamblang sunnah Rosulillah shollallahu ‘alaihi wasallam maka tidak boleh bagi siapapun meninggalkannya lantaran mengikuti pendapat seseorang. Karena Allah ta’ala berfirman, “Jika kalian berselisih pendapat tentang suatu perkara maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rosul-Nya, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik lagi akibatnya.”

Sebagian Ulama berkata:

وليس كُلُّ خِلاف جاء معتبرًا … إلاَّ خِلاف له حَظٌّ مِن النظر

“Tidaklah setiap khilaf itu mu’tabar (diakui), kecuali khilaf yang mempunyai sudut pandang (hujjah).”

القسم الثالث : الاجتهاد الفقهي الذي لم يظهر فيه دليل مع أحد المختلفين ، فهذا لا يُنْكَر على مَن أَخذ بأحد القولين ، ومِن ثم جاءت العبارة المشهورة : لا إنكار في مسائل الاجتهاد وهذا الاختلاف لا يُوجِب عداوة بين المختلفين . لأنَّ كُلاًّ منهم يَحتمل أَنَّهُ على الحقِّ

Ketiga, perbedaan yang bersumber dari ijtihad fiqhi (pemahaman) berhubung dalilnya belum nampak di antara para Ulama yang berselisih pendapat. Maka dalam hal ini tidaklah diingkari jika seseorang mengambil salah satu pendapat. Oleh sebab itu, ada ungkapan yang masyhur terkait hal ini yaitu, “Tidak ada pengingkaran dalam menyikapi masalah ijtihad (yang diperselisihkan)”. Khilaf dalam masalah ini tidak melazimkan percekcokan di antara keduabelah pihak yang berbeda pendapat. Karena masing-masingnya ada kemungkinan berada di atas al-haq.” (Al-Ijtima’ wa Nabdzul Furqoh hal. 48 – 50

Blog di WordPress.com.