Buyaathaillah's Blog

Aqidah Asyairiyah vs Wahabi

 

 

Maknanya: “…dan sesungguhnya ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 di

antaranya di neraka dan hanya satu yang di surga yaitu al-Jama’ah”. (H.R. Abu Dawud)

Akal adalah syahid (saksi dan bukti) akan kebenaran syara’. Inilah sebenarnya yang dilakukan oleh ulama tauhid atau ulama al-kalam (teologi). Yang mereka lakukan adalah taufiq (pemaduan) antara kebenaran syara’ dengan kebenaran akal, mengikuti jejak nabi Ibrahim -seperti dikisahkan al-Quran- ketika membantah raja Namrud dan kaumnya, di mana beliau menundukkan mereka dengan dalil akal. Fungsi akal dalam agama adalah sebagai saksi bagi kebenaran syara’ bukan sebagai peletak dasar bagi agama itu sendiri. Berbeda dengan para filosof yang berbicara tentang Allah, malaikat dan banyak hal lainnya yang hanya berdasarkan penalaran akal semata. Mereka menjadikan akal sebagai dasar agama tanpa memandang ajaran yang dibawa para nabi.

Tuduhan kaum Musyabbihah; kaum yang sama sekali tidak memfungsikan akal dalam agama, terhadap Ahlussunnah sebagai ’Aqlaniyyun (kaum yang hanya mengutamakan akal) atau sebagai kaum Mu’tazilah atau Afrakh al-Mu’tazilah (anak bibitan kaum Mu’tazilah) dengan alasan karena lebih mengedepankan akal, adalah tuduhan yang salah alamat. Ini tidak ubahnya seperti seperti kata pepatah arab “Qabihul Kalam Silahulliam” (kata-kata yang jelek adalah senjata para pengecut). Secara singkat namun komprehensif, kita ketengahkan bahasan tentang Ahlissunnah sebagai al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat), asal-usulnya, dasar-dasar ajaran dan sistematikanya.

PEMBAHASAN

Sejarah mencatat bahwa di kalangan umat Islam dari mulai abad-abad permulaan (mulai dari masa khalifah sayyidina Ali ibn Abi Thalib) sampai sekarang terdapat banyak firqah (golongan) dalam masalah aqidah yang faham satu dengan lainnya sangat berbeda bahkan saling bertentangan. Ini fakta yang tak dapat dibantah. Bahkan dengan tegas dan gamblang Rasulullah telah menjelaskan bahwa umatnya akan pecah menjadi 73 golongan. Semua ini tentunya dengan kehendak Allah dengan berbagai hikmah tersendiri, walaupun tidak kita ketahui secara pasti. Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Namun Rasulullah juga telah menjelaskan jalan selamat yang harus kita

tempuh agar tidak terjerumus dalam kesesatan. Yaitu dengan mengikuti apa yang diyakini oleh al-Jama’ah; mayoritas umat Islam. Karena Allah telah menjanjikan kepada Rasul-Nya, Muhammad , bahwa umatnya tidak akan tersesat selama mereka berpegang teguh kepada apa yang disepakati oleh kebanyakan mereka. Allah tidak akan menyatukan mereka dalam kesesatan. Kesesatan akan menimpa mereka yang menyempal dan memisahkan diri dari keyakinan mayoritas. Mayoritas umat Muhammad dari dulu sampai sekarang adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam Ushul al-I’tiqad (dasar-dasar aqidah); yaitu Ushul al-Iman al-Sittah (dasar-dasar iman yang enam) yang disabdakan Rasulullah dalam hadits Jibril:

Maknanya: “Iman adalah engkau mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab- kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir serta Qadar (ketentuan Allah); yang baik maupun buruk”.(H.R. al Bukhari dan Muslim)

Perihal al-Jama’ah dan pengertiannya sebagai mayoritas umat Muhammad yang tidak lain adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah tersebut dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya :

 

Maknanya: “Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku, kemudian –mengikuti– orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian mengikuti yang dating setelah mereka“. Dan termasuk rangkaian hadits ini: “Tetaplah bersama al-Jama’ah dan jauhi perpecahan karena syaitan akan menyertai orang yang sendiri. Dia (syaitan) dari dua orang akan lebih jauh, maka barang siapa menginginkan tempat lapang di surga hendaklah ia berpegang teguh pada (keyakinan) al-Jama’ah”. (H.R. at-Turmudzi, ia berkata hadits ini Hasan Shahih juga hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim).

Al-Jama’ah dalam hadits ini tidak boleh diartikan dengan orang yang selalu menjalankan shalat dengan berjama’ah, jama’ah masjid tertentu atau dengan arti ulama hadits, karena tidak sesuai dengan konteks pembicaraan hadits ini sendiri dan bertentangan dengan hadits-hadits lain. Konteks pembicaraan hadits ini jelas mengisyaratkan bahwa yang dimaksud al-Jama’ah adalah mayoritas umat Muhammad dari sisi kuantitas.

Penafsiran ini diperkuat juga oleh hadits yang kita tulis di awal pembahasan. Yaitu hadits riwayat Abu Dawud yang merupakan hadits Shahih Masyhur, diriwayatkan oleh lebih dari 10 orang sahabat. Hadits ini memberi kesaksian akan kebenaran mayoritas umat Muhammad bukan kebenaran firqah-firqah yang menyempal. Jumlah pengikut firqah-firqah yang menyempal ini, dibanding pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah sangatlah sedikit.

Selanjutnya di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah dikenal istilah “ulama salaf”. Mereka adalah orang-orang yang terbaik dari kalangan Ahlusssunnah Wal Jama’ah yang hidup pada 3 abad pertama hijriyah sebagaimana sabda nabi:

Maknanya: “Sebaik-baik abad adalah abadku kemudian abad setelah mereka kemudian abad setelah mereka”. (H.R. Tirmidzi)

Pada masa ulama salaf ini, di sekitar tahun 260 H, mulai menyebar bid’ah Mu’tazilah, Khawarij, Musyabbihah dan lainnya dari kelompok-kelompok yang membuat faham baru. Kemudian dua imam agung; Abu al-Hasan al-Asy’ari (W. 324 H) dan Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) –semoga Allah meridlai keduanya– dating dengan menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al-Quran dan Hadits) dan dalil-dalil aqli (argumen rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap syubhat-syubhat (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah, Khawarij tersebut di atas dan ahli bid’ah lainnya. Sehingga Ahlussunnah dinisbatkan kepada keduanya. Mereka; Ahlussunnah Wal Jamaah akhirnya dikenal dengan nama al-Asy’ariyyun (para pengikut imam Abu al-Hasan Asy’ari) dan al-Maturidiyyun (para pengikut imam Abu Manshur al-Maturidi). Hal ini tidak menafikan bahwa mereka adalah satu golongan yaitu al-Jama’ah. Karena sebenarnya jalan yang ditempuh oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam pokok aqidah adalah sama dan satu.

Adapun perbedaan yang terjadi di antara keduanya hanya pada sebagian masalah-masalah furu’ (cabang) aqidah. Hal tersebut tidak menjadikan keduanya saling menghujat atau saling menyesatkan, serta tidak menjadikan keduanya lepas dari ikatan golongan yang selamat (al-Firqah al-Najiyah). Perbedaan antara al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini adalah seperti halnya perselisihan yang terjadi antara para sahabat nabi, perihal apakah Rasulullah melihat Allah pada saat Mi’raj?. Sebagian sahabat, seperti ‘Aisyah dan Ibn Mas’ud mengatakan bahwa Rasulullah r tidak melihat Tuhannya pada waktu Mi’raj. Sedangkan Abdullah ibn ‘Abbas mengatakan bahwa Rasulullah r melihat Allah dengan hatinya. Allah memberi kemampuan melihat kepada hati Nabi Muhammad r sehingga dapat melihat Allah. Namun demikian al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini tetap sepaham dan sehaluan dalam dasar-dasar aqidah. Al-Hafizh Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H) mengatakan:

“Jika dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka yang dimaksud adalah al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah “. (al-Ithaf, juz 2 hlm 6)

Jadi aqidah yang benar dan diyakini oleh para ulama salaf yang shalih adalah aqidah yang diyakini oleh al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Karena sebenarnya keduanya hanyalah meringkas dan menjelaskan aqidah yang diyakini oleh para nabi dan rasul serta para sahabat. Aqidah Ahlusssunnah adalah aqidah yang diyakini oleh ratusan juta umat Islam, mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, Maliki,

Hanafi, serta orang-orang yang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah). Aqidah ini diajarkan di pesantren-pesantren Ahlussunnah di negara kita, Indonesia. Dan al-Hamdulillah, aqidah ini juga diyakini oleh ratusan juta kaum muslimin di seluruh dunia seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, India, Pakistan, Mesir (terutama al-Azhar), negara-negara Syam (Syiria, Yordania, Lebanon dan Palestina), Maroko, Yaman, Irak, Turki, Daghistan, Checnya, Afghanistan dan masih banyak lagi di negara-negara lainnya. Maka wajib bagi kita untuk senantiasa penuh perhatian dan keseriusan dalam mendalami aqidah al- Firqah al-Najiyah yang merupakan aqidah golongan mayoritas.

Karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia, sebab ia menjelaskan pokok atau dasar agama. Abu Hanifah menamakan ilmu ini dengan al-Fiqh al-Akbar. Karenanya, mempelajari ilmu ini harus lebih didahulukan dari mempelajari ilmuilmu lainnya. Setelah cukup mempelajari ilmu ini baru disusul dengan ilmu-ilmu yang lain. Inilah metode yang diikuti para sahabat nabi dan ulama rabbaniyyun dari kalangan salaf maupun khalaf dalam mempelajari agama ini. Tradisi semacam ini sudah ada dari masa Rasulullah, sebagaimana dikatakan sahabat Ibn ‘Umar dan sahabat Jundub:

 

Maknanya: “Kami -selagi remaja saat mendekati baligh- bersama Rasulullah mempelajari

iman (tauhid) dan belum mepelajari al-Qur’an. Kemudian kami mempelajari al-Qur’an maka bertambahlah keimanan kami”. (H.R. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Hafidz al-Bushiri).

Ilmu aqidah juga disebut dengan ilmu kalam. Hal tersebut dikarenakan banyaknya golongan yang mengatas namakan Islam justru menentang aqidah Islam yang benar dan banyaknya kalam (adu argumentasi) dari setiap golongan untuk membela aqidah mereka yang sesat.

Tidak semua ilmu kalam itu tercela, sebagaimana dikatakan oleh golongan Musyabbihah (kelompok yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Akan tetapi ilmu kalam terbagi menjadi dua bagian: ilmu kalam yang terpuji dan ilmu kalam yang tercela. Ilmu kalam yang kedua inilah yang menyalahi aqidah Islam karena sengaja dikarang dan ditekuni oleh golongan-golongan yang sesat seperti Mu’tazilah, Musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, sepeti kaum Wahabiyyah) dan ahli bid’ah lainnya. Adapun ilmu kalam yang terpuji ialah ilmu kalam yang dipelajari oleh Ahlussunah untuk membantah golongan yang sesat. Dikatakan terpuji karena pada hakekatnya ilmu kalam Ahlussunnah adalah taqrir dan penyajian prinsip-prinsip aqidah dalam formatnya yang sistematis dan argumentatif; dilengkapi dengan dalil-dalil naqli dan aqli.

Dasar-dasar ilmu kalam ini telah ada di kalangan para sahabat. Di antaranya, sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib dengan argumentasinya yang kuat dapat mengalahkan golongan Khawarij, Mu’tazilah juga dapat membantah empat puluh orang yahudi yang meyakini bahwa Allah adalah jism (benda). Demikian pula sahabat ‘Abdullah ibn Abbas, al-Hasan ibn ‘Ali ibn Abi Thalib dan ‘Abdullah ibn Umar juga membantah kaum Mu’tazilah. Sementara dari kalangan tabi’in; imam al-Hasan al-Bashri, imam al-Hasan ibn Muhamad ibn al-Hanafiyyah; cucu sayyidina Ali ibn Abi Thalib dan khalifah Umar ibn Abdul Aziz juga pernah membantah kaum Mu’tazilah. Kemudian juga para imam dari empat madzhab; imam Syafi’i, imam Malik, imam Abu Hanifah, dan imam Ahmad juga menekuni dan menguasai ilmu kalam ini. Sebagaimana dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi (W 429 H) dalam kitab Ushul ad-Din, al-Hafizh Abu al-Qasim ibn ‘Asakir (W 571 H) dalam kitabTabyin Kadzib al Muftari, al-Imam az-Zarkasyi (W 794 H) dalam kitab Tasynif al- Masami’ dan al ‘Allamah al Bayyadli (W 1098 H) dalam kitab Isyarat al-Maram dan lain-lain.

Allah berfirman:

Maknanya: “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak

disembah) kecuali Allah dan mohonlah ampun atas dosamu”. (Q.S. Muhammad :19)

Ayat ini dengan sangat jelas mengisyaratkan keutamaan ilmu ushul atau tauhid.

Yaitu dengan menyebut kalimah tauhid (la ilaha illallah) lebih dahulu dari pada

perintah untuk beristighfar yang merupakan furu’ (cabang) agama. Ketika Rasulullah r ditanya tentang sebaik-baiknya perbuatan, beliau menjawab:

Maknanya: “Iman kepada Allah dan rasul-Nya”. (H.R. Bukhari)

Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah r mengkhususkan dirinya sebagai orang

yang paling mengerti dan faham ilmu tauhid, beliau bersabda:

Maknanya: “Akulah yang paling mengerti di antara kalian tentang Allah dan paling takut kepada-Nya”. (H.R. Bukhari)

Karena itu, sangat banyak ulama yang menulis kitab-kitab khusus mengenai penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah ini. Seperti Risalah al-‘Aqidah ath- Thahawiyyah karya al-Imam as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321 H), kitab al‘Aqidah an-Nasafiyyah karangan al Imam ‘Umar an-Nasafi (W 537 H), al-‘Aqidah al-Mursyidah karangan al-Imam Fakhr ad-Din ibn ‘Asakir (W 630 H), al ‘Aqidah ash-Shalahiyyah yang ditulis oleh al-Imam Muhammad ibn Hibatillah al-Makki (W 599H); beliau menamakannya Hadaiq al-Fushul wa Jawahir al Uqul, kemudianmenghadiahkan karyanya ini kepada sultan Shalahuddin al-Ayyubi (W 589 H).Tentang risalah aqidah yang terakhir disebutkan, sultan Shalahuddin sangat tertarik dengannya hingga beliau memerintahkan untuk diajarkan sampai kepada anakanak kecil di madrasah-madrasah, yang akhirnya risalah aqidah tersebut dikenal

dengan nama al ‘Aqidah ash-Shalahiyyah. Sulthan Shalahuddin adalah seorang ‘alim yang bermadzhab Syafi’i, mempunyai perhatian khusus dalam menyebarkan al ‘Aqidah as-Sunniyyah. Beliau memerintahkan para muadzdzin untuk mengumandangkan al ‘Aqidah as-Sunniyyah di waktu tasbih (sebelum adzan shubuh) pada setiap malam di Mesir, seluruh negara Syam (Syiria, Yordania, Palestina dan Lebanon), Mekkah, Madinah, dan Yaman sebagaimana dikemukakan oleh al Hafizh as-Suyuthi (W 911 H) dalam al Wasa-il ila Musamarah al Awa-il dan lainnya. Sebagaimana banyak terdapat buku-buku yang telah dikarang dalam menjelaskan al ‘Aqidah as-Sunniyyah dan senantiasa penulisan itu terus berlangsung.

Kita memohon kepada Allah semoga kita meninggal dunia dengan membawa aqidah Ahlissunah Wal Jamaah yang merupakan aqidah para nabi dan rasul Allah. Amin.

KOMENTAR PARA ULAMA TENTANG AQIDAH ASY’ARIYYAH; AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

As-Subki dalam Thabaqatnya berkata: “Ketahuilah bahwa Abu al-Hasan al-Asy’ari tidak membawa ajaran baru atau madzhab baru, beliau hanya menegaskan kembali madzhab salaf, menghidupkan ajaran-ajaran sahabat Rasulullah. Penisbatan nama kepadanya karena beliau konsisten dalam berpegang teguh ajaran salaf, hujjah (argumentasi) yang beliau pakai sebagai landasan kebenaran aqidahnya juga tidak keluar dari apa yang menjadi hujjah para pendahulunya, karenanya para pengikutnya kemudian disebut Asy’ariyyah. Abu al-Hasan al-Asy’ari bukanlah ulama yang pertama kali berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama’ah, ulama-ulama sebelumya juga banyak berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau hanya lebih memperkuat ajaran salaf itu dengan argumen-argumen yang kuat. Bukankah penduduk kota Madinah banyak dinisbatkan kepada Imam Malik, dan pengikutnya disebut al Maliki. Ini bukan berarti Imam Malik membawa ajaran baru yang sama sekali tidak ada pada para ulama sebelumnya, melainkan karena Imam Malik menjelaskan ajaran-ajaran lama dengan penjelasan yang lebih rinci dan sistematis..demikian juga yang dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari”.

Habib Abdullah ibn Alawi al-Haddad menegaskan bahwa “kelompok yang benar adalah kelompok Asy’ariyah yang dinisbatkan kepada Imam Asy’ari. Aqidahnya juga aqidah para sahabat dan tabi’in, aqidah ahlul haqq dalam setiap masa dan tempat, aqidahnya juga menjadi aqidah kaum sufi sejati. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Imam Abul Qasim al-Qusyayri. Dan alhamdulillah aqidahnya juga menjadi aqidah kami dan saudara-saudara kami dari kalangan habaib yang dikenal dengan keluarga Abu Alawi, juga aqidah para pendahulu kita. Kemudian beliau melantunkan satu bait sya’ir:

وكن أشعريا في اعتقادك إنه هو المنهل الصافي عن الزيغ والكفر

Jadilah pengikut al Asy’ari dalam aqidahmu, karena ajarannya adalah sumber yang

bersih dari kesesatan dan kekufuran“.

Ibnu ‘Abidin al Hanafi mengatakan dalam Hasyiyah Radd al Muhtar ‘ala ad-Durr al Mukhtar : “Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah al Asya’irah dan al Maturidiyyah“. Dalam kitab ‘Uqud al Almas al Habib Abdullah Alaydrus al Akbar mengatakan :

“Aqidahku adalah aqidah Asy’ariyyah Hasyimiyyah Syar’iyyah sebagaimana aqidah

para ulama madzhab syafi’i dan Kaum Ahlussunnah Shufiyyah”.

Bahkan jauh sebelum mereka ini Al Imam al ‘Izz ibn Abd as-Salam mengemukakan bahwa aqidah al Asy’ariyyah disepakati oleh kalangan pengikut madzhab Syafi’i, madzhab Maliki, madzhab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudlala al Hanabilah). Apa yang dikemukakan oleh al ‘Izz ibn Abd as-Salam ini disetujui oleh para ulama di masanya, seperti Abu ‘Amr Ibn al Hajib (pimpinan ulama Madzhab

Maliki di masanya), Jamaluddin al Hushayri pimpinan ulama Madzhab Hanafi di masanya, juga disetujui oleh al Imam at-Taqiyy as-Subki sebagaimana dinukil oleh putranya Tajuddin as-Subki.

GARIS BESAR AQIDAH ASY’ARIYYAH

Secara garis besar aqidah asy’ari yang juga merupakan aqidah ahlussunnah wal jama’ah adalah meyakini bahwa Allah ta’ala maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, Allah bukanlah benda yang bisa digambarkan juga bukan benda yang berbentuk dan berukuran. Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya (laysa kamitslihi syai’). Allah ada dan tidak ada permulaan atau penghabisan bagi ada-Nya, Allah maha kuasa dan tidak ada yang melemahkan-Nya, serta Ia tidak diliputi arah. Ia ada sebelum menciptakan tempat tanpa tempat, Iapun ada setelah menciptakan tempat tanpa tempat. tidak boleh ditanyakan tentangnya kapan, dimana dan bagaimana ada-Nya. Ia ada tanpa terikat oleh masa dan tempat. Maha suci Allah dari bentuk (batasan), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar dan anggota badan yang kecil. Ia tidak diliputi satu arah atau enam arah penjuru. Ia tidak seperti makhluk-Nya. Allah maha suci dari duduk, bersentuhan, bersemayam, menyatu dengan makhluk-Nya, berpindah-pindah dan sifat-sifat makhluk lainnya.

Ia tidak terjangkau oleh fikiran dan Ia tidak terbayang dalam ingatan, karena apapun yang terbayang dalam benakmu maka Allah tidak seperti itu. Ia maha hidup, maha mengetahui, maha kuasa, maha mendengar dan maha melihat. Ia berbicara dengan kalam-Nya yang azali sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain juga azali, karena Allah berbeda dengan semua makhluk-Nya dalam dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Barang siapa menyifati Allah dengan sifat makhluknya sungguh ia telah kafir.

Allah yang telah menciptakan makhluk dan perbuatan-perbuatan-Nya, Ia juga yang mengatur rizki dan ajal mereka. Tidak ada yang bisa menolak ketentuan-Nya dan tidak ada yang bisa menghalangi pemberian-Nya. Ia berbuat dalam kerajaan-Nya ini apa yang Ia kehendaki. Ia tidak ditanya perihal perbuatan-Nya melainkan hamba-Nyalah yang akan diminta pertanggungjawaban atas segala perbuatan-Nya. Apa yang Ia kehendaki pasti terlaksana dan yang tidak Ia kehendaki tidak akan terjadi. Ia disifati dengan kesempurnaan yang pantas bagi-Nya dan Ia maha suci dari segala bentuk kekurangan. Nabi Muhammad adalah penutup para nabi dan penghulu para rasul. Ia diutus Allah ke muka bumi ini untuk semua penduduk bumi, jin maupun manusia. Ia jujur dalam setiap apa yang disampaikannya. []

Tidak Semua Yang Baru Itu Sesat Pemberian titik dan syakal pada mushaf itu tidak ada pada masa Rasul dan Rasul tidak pernah memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk melakukan itu, tapi sampai saat ini tidak ada yang berani mengatakan itu sesat dan yang sesat masuk neraka. Demikian juga adzan kedua pada hari jum’at yang dirintis pertama kali oleh sahabat Utsman ibn Affan karena melihat umat Islam sudah semakin banyak. Pada masa Rasul, Abu Bakar dan Umar adzan pada hari jum’at hanya dilakukan sekali ketika khatib naik mimbar, kemudian pada masa Utsman adzan ditambah sebelum khatib naik mimbar. Adzan yang pertama ditujukan untuk memperingatkan umat bahwa waktu dzuhur sudah masuk dan bersegera untuk meninggalkan aktifitas duniawinya dan datang ke masjid. Apakah kemudian Utsman disebut ahli bid’ah?! Bukankah Rasulullah telah memberikan keleluasan (rukhshah) kepada umatnya untuk berinovasi dalam hal kebaikan?! dalam haditsnya Rasul bersabda: “Barang siapa merintis perkara baru yang baik dalam Islam maka ia mendapatkan pahala dari upayanya serta pahala orang yang menjalankannya” .

Seiring dengan perkembangan zaman tentu kebutuhan umat manusia semakin banyak lebih banyak dari masa Rasul dan sahabat, tidak ada salahnya kalau kita memanfaatkan fasilitas-fasilitas teknologi yang telah tercipta itu untuk mempermudah kepentingan kita beribadah kepada Allah. Karena tidak semua yang baru itu salah dan menyesatkan.

 

Memalsukan pendapat ulama adalah darah daging agama wahaby.

mari kita buktikan bahwa kitab-kitab tafsir alqur’an yang mu’tabar adalh membantah pendapat mereka…dan rujukan-rujukan yang mereka buat adalah bathil :

ahlusunnah menta’wil ayat mutasyabihat

Ta’wil bererti menjauhkan makna dari segi zahirnya kepada makna yang lebih layak bagi Allah, ini kerana zahir makna nas al-Mutasyabihat tersebut mempunyai unsur jelas persamaan Allah dengan makhluk. Dalil melakukan ta’wil ayat dan hadis  mutasyabihat:

Rasulullah berdoa kepada Ibnu Abbas dengan doa: J لكتا يل تأ لحكمة لهم علمه – ل
Maknanya: “Ya Allah alimkanlah dia hikmah dan takwil Al quran” H.R Ibnu Majah. (Sebahagian ulamak salaf termasuk Ibnu Abbas
mentakwil ayat-ayat mutasyabihah)

Ta’wilan pula ada dua,

Pertama: Ta’wilan Ijmaliyy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya.

sebagai contoh perkataan istawa dikatakan istawa yang layak bagi Allah dan waktu yang sama dinafikan zahir makna istawa kerana zahirnya bererti duduk dan bertempat, Allah mahasuci dari bersifat duduk dan bertempat.

Manakala kedua adalah: Ta’wilan Tafsiliyy iaitu ta’wilan yang menafikan makna zahir nas tersebut kemudian meletakkan makna yang layak bagi Allah.
seperti istawa bagi Allah bererti Maha Berkuasa kerana Allah sendiri sifatkan dirinya sebagai Maha Berkuasa.

A. Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar
lihat dalam tafsir berikut :

Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d:

1- Tafsir Ibnu Kathir:

(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf, sesungguhnya ia ditafsirkan tanpa kaifiat(bentuk) dan penyamaan

Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya. sebenarnya memahami makna istiwa ini sebenarnya.

وأما قوله تعالى: {ثم استوى على العرش} فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جداً، ليس هذا موضع بسطها، وإنما نسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح مالك والأوزاعى والثوري والليث بن سعد والشافعي و أحمد وإسحاق راهويه وغيرهم من أئمة المسلمين قديما وحديثا وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل، والظاهر المتبادر إلى أذهان المشبهين منفي عن اللّه فإن اللّه لا يشبهه شيء من خلقه و{ليس كمثله شيء وهو السميع البصير}، بل الأمر كما قال أئمة منهم نعيم بن حماد الخزاعي شيخ البخاري قال: من شبَّه اللّه بخلقه كفر، ومن جحد ما وصف اللّه به نفسه فقد كفر، وليس فيما وصف اللّه به نفسه ولا رسوله تشبيه فمن أثبت للّه تعالى ما وردت به الآيات الصريحة والأخبار الصحيحة على الوجه الذي يليق بجلال اللّه ونفي عن الله تعالى النقائص قد سلك سبيل الهدى

“Dan adapun firman-Nya: “Kemudian Dia istiwa di atas ‘arsy”, Orang-orang mempunyai berbagai pendapat yang sangat banyak dalam hal ini, dan bukan ini tempatnya perinciannya. Hanyasaja dalam hal ini kami menapaki (meniti) cara yang dipakai oleh madzhab Salaf al-Shalih, (seperti) Malik, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’ad, al-Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan  selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif  (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan). Zhahirnya apa yang mudah ditangkap oleh musyabbih (orang yang melakukan tasybih) adalah hal yang tidak ada bagi Allah, karena sesungguhnya Allah tidak ada sesuatupun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya, dan “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [al-Syura: 11]. Bahkan perkaranya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata: “Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang mengingkari apa yang Allah mensifati diri-Nya, maka ia kafir, dan bukanlah termasuk tasybih (penyerupaan) orang yang menetapkan bagi Allah Ta’ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan Rasul-Nya dari apa yang telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih (jelas/ayat mukamat) dan berita-berita (hadits) yang shahih dengan (pengertian) sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah sifat-sifat yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.”

Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu Katsir.Berdasarkan penjelasan ibnu katsir :

– ibnu katsir mengakui ayat ‘istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi mengartikannya dengan ayat dan hadis yang jelas (muhkamat) bukan mengartikannya dengan ayat-dan hadis mutasyabihat.

Al Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H) dalam al Burhan al Muayyad berkata: “Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran”.

– jadi ibnu katsir tidak memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat tersebut.

– disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya  tidak melarang ta’wil.

“…dan  selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif  (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan)….”

sedangkan wahaby melarang melakukan tanwil!

Bukti imam Bukhari, imam Ahmad dan lainnya melakukan ta’wil ayat mutasyabihat akan dijelaskan pada point E.

2- Tafsir al Qurtubi

(ثم استوى على العرش ) dengan makna penjagaan dan penguasaan

3- Tafsir al-Jalalain

(ثم استوى على العرش ) istiwa yang layak bagi Nya

4- Tafsir an-Nasafi Maknanya:

makna ( ثم استوى على العرش) adalah menguasai Ini adalah sebahagian dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah yang lain…

B. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf


Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya:

1-masak (boleh di makan) contoh:

قد استوى الطعام—–قد استوى التفاح maknanya: makanan telah masak—buah epal telah masak

2- التمام: sempurna, lengkap

3- الاعتدال : lurus

4- جلس: duduk / bersemayam,

contoh: – استوى الطالب على الكرسي : pelajar duduk atas kerusi -استوى الملك على السرير : raja bersemayam di atas katil

5- استولى : menguasai,

contoh: قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق

Maknanya: Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah.

Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-Buldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir?

sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah):

ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر

Maknanya: barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. Kemudian ulama’-ulama’ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling besar, oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allah subhanahu wata’ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh:

ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته

Maknanya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya.

Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus.
Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah Benda

Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al
Qawim h. 64, mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah – semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”.

Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan:
“Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’i dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal).

Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan : “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya”.

As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk

Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata:
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,
kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.

Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah).

C.  ulamak 4 mazhab tentang aqidah

1- Imam Abu hanifah:

لايشبه شيئا من الأشياء من خلقه ولا يشبهه شيء من خلقه

Maknanya:: (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang menyerupaiNya.Kitab Fiqh al Akbar, karangan Imam Abu Hanifah, muka surat 1

2-Imam Syafie:

انه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لايجوز عليه التغيير

Maknanya: sesungguhnya Dia Ta’ala ada (dari azali) dan tempat belum dicipta lagi, kemudian Allah mencipta tempat dan Dia tetap dengan sifatnnya yang azali itu seperti mana sebelum terciptanya tempat, tidak harus ke atas Allah perubahan. Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 muka surat 23

3-Imam Ahmad bin Hanbal :

-استوى كما اخبر لا كما يخطر للبشر

Maknanya: Dia (Allah) istawa sepertimana Dia khabarkan (di dalam al Quran), bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia. Dinuqilkan oleh Imam al-Rifae dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad.

وما اشتهر بين جهلة المنسوبين الى هذا الامام المجتهد من أنه -قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه

Maknanya: dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini (Ahmad bin Hanbal) bahawa dia ada mengatakan tentang (Allah) berada di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnya(Imam Ahmad) Kitab Fatawa Hadisiah karangan Ibn Hajar al- Haitami

4- Imam Malik :

الاستواء غير المجهول والكيف غير المعقول والايمان به واجب و السؤال عنه بدعة

Maknannya: Kalimah istiwa’ tidak majhul (diketahui dalam al quran) dan kaif(bentuk) tidak diterima aqal, dan iman dengannya wajib, dan soal tentangnya bidaah.

lihat disini : imam malik menulis kata istiwa (لاستواء) bukan jalasa atau duduk atau bersemayam atau bertempat (istiqrar)…..

lihat bagaimana wahaby membodohi pengikutnya :

Wahaby tulis  :
Imam Malik berkata “Allah bersemayam (padahal aslinya hanya tertulis lafadaz istiwa) telah jelas kita ketahui. Bagaimana dia bersemayam (padahal aslinya hanya tertulis lafadaz istiwa) tidak akan terjangkau oleh Akal. Beriman tentang hal tsb adalah suatu kewajiban bagi kita sedangkan menanyakan bagaimana hakikatnya/kaifiyyatnya adalah termasuk bid’ah “.

D. Dalil -dalil Allah tidak bertempat dan Berarah

Mengenai aqidah ahlusunnah yang sangat penting dalam Bab 5 kitab al-Farq baina al-Firaq ialah mengenai aqidah sunni “Allah ada Tanpa Tempat /Allah Maujud Bilaa Makan)

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud).


Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, ‘Arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).

Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata:
“Allah ta’ala ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat, Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan belum ada tempat, makhluk dan sesuatu dan Dia pencipta segala sesuatu”.

Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam:

Maknanya: “Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah alBathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu” (H.R. Muslim dan lainnya).
Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”.

Tidak Boleh dikatakan Allah ada di atas ‘Arsy atau ada di mana-mana
Seperti dengan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari, perkataan sayyidina Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya-:

Maknanya: “Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat” (Dituturkan oleh al Imam Abu Manshur alBaghdadi dalam kitabnya al Farq bayna al Firaq h. 333).
Karenanya tidak boleh dikatakan Allah ada di satu tempat atau di mana-mana, juga tidak boleh dikatakan Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani (W. 973 H) dalam kitabnya al Yawaqiit Wa al Jawaahir menukil perkataan Syekh Ali al Khawwash: “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di mana-mana”. Aqidah yang mesti diyakini bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.

Al Imam Ali -semoga Allah meridlainya- mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untukmenjadikannya tempat bagi Dzat-Nya” (diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi dalam kitab al Farq bayna al Firaq, hal. 333)

Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- juga mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana” (diriwayatkan oleh Abu al Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 9

Maknanya: Menurut ulama tauhid yang dimaksud al mahdud (sesuatu yang berukuran) adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil maupun besar. Sedangkan pengertian al hadd (batasan) menurut mereka adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-Dzarrah (sesuatu yang terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela) mempunyai ukuran demikian juga ‘Arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing mempunyai ukuran.

Al Imam Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- berkata yang maknanya: “Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W. 430 H) dalam Hilyah al Auliya’, juz I hal. 72).

Maksud perkataan sayyidina Ali tersebut adalah sesungguhnya berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang kecil atau berkeyakinan bahwa Dia memiliki bentuk yang meluas tidak berpenghabisan merupakan kekufuran. Semua bentuk baik Lathif maupun Katsif, kecil ataupun besar memiliki tempat dan arah serta ukuran. Sedangkan Allah bukanlah benda dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda, karenanya ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah mengatakan: “Allah ada tanpa tempat dan arah serta tidak mempunyai ukuran, besar maupun kecil”. Karena sesuatu yang memiliki tempat dan arah pastilah benda. Juga tidak boleh dikatakan tentang Allah bahwa tidak ada yang mengetahui tempat-Nya kecuali Dia. Adapun tentang benda Katsif bahwa ia mempunyai tempat, hal ini jelas sekali. Dan mengenai benda lathif bahwa ia mempunyai tempat, penjelasannya adalah bahwa ruang kosong yang diisi oleh benda lathif, itu adalah tempatnya. Karena definisi tempat adalah ruang kosong yang diisi oleh suatu benda.

 

Al Imam As-Sajjad Zayn al ‘Abidin ‘Ali ibn al Husain ibn ‘Aliibn Abi Thalib (38 H-94 H) berkata : “Engkaulah Allah yang tidak diliputi tempat”, dan dia berkata: “Engkaulah Allah yang Maha suci dari hadd (benda, bentuk, dan ukuran)”, beliau juga berkata : “Maha suci Engkau yang tidak bisa diraba maupun disentuh” yakni bahwa Allah tidak menyentuh sesuatupun dari makhluk-Nya dan Dia tidak disentuh oleh sesuatupun dari makhluk-Nya karena Allah bukan benda. Allah Maha suci dari sifat berkumpul, menempel, berpisah dan tidak berlaku jarak antara Allah dan makhluk-Nya karena Allah bukan benda dan Allah ada tanpa arah. (Diriwayatkan oleh al Hafizh az-Zabidi dalam al Ithaf dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al Bayt; keturunan Rasulullah). Hal ini juga sebagai bantahan terhadap orang yang berkeyakinan Wahdatul Wujud dan Hulul.

E. Bukti imam -imam  (imam Bukhari, Ahmad, Nawawi dsb) ahlusunnah menta’wil ayat Mutasyabihat

1. LAFADZ “MAN FISSAMA-I DALAM ALMULK 16 “

Makna firman Allah :
أَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
(Al-Mulk:16)

Jawab:
1. Dalam Tafsir Al Bahr al Muhith  dan Kitab “Amali (Imam Al-Hafiz Al-‘Iraqi )

Pakar tafsir, al Fakhr ar-Razi dalam tafsirnya dan Abu
Hayyan al Andalusi dalam tafsir al Bahr al Muhith mengatakan:

“Yang  dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i) dalam ayat tersebut adalah malaikat”.

Ayat  tersebut tidak bermakna bahwa Allah bertempat di langit.
Perkataan ‘man’ iaitu ‘siapa’ dalam ayat tadi bererti malaikat bukan bererti Allah berada dan bertempat  dilangit.  Ia berdasarkan kepada ulama Ahli Hadith yang menjelaskannya iaitu Imam Al-Hafiz Al-‘Iraqi dalam Kitab Amali  bahawa “Perkataan ‘siapa’ pada ayat tersebut bererti malaikat”.

Kemudian, yang berada dilangit dan bertempat dilangit bukanlah Allah tetapi para malaikat berdasarkan hadith Nabi bermaksud: “ Tidaklah di setiap langit itu kecuali pada setiap empat jari terdapat banyak para malaikat melakukan qiyam, rukuk atau sujud ”. Hadith Riwayat Tirmizi.

Ketahuilah bahawa tempat tinggal para malaikat yang mulia adalah di langit pada setiap langit penuh dengan para malaikat manakala bumi terkenal dengan tempat tinggal manusia dan jin. Maha suci Allah dari bertempat samaada di langit mahupun di bumi.

Banyak hadis dan ayat yang menyebutkan man fissamawati (yang dilangit), penduduk langit dan sebagainya, tapi itu semua adalah para malaikat. Seperti dalamsurat al-ra’du ayat 15 (ayat sajadah) :
“walillahi yasjudu man fissamawati wal’ardhi thau’an wa karhan wa dhilaaluhum bil ghuduwwi wal aashaal”

artinya : “Apa yang di langit dan Bumi, semuanya tunduk kepada Allah, mau atau tidak mau, demikian juga bayang-bayang mereka diwaktu pagi dan petang (QS arra’du ayat 15)

Dalam Tafsir jalalain (halaman 201, darul basyair, damsyik) :
“Apa yang di langit (man fisamawati) dan Bumi, semuanya tunduk kepada Allah, mau” (adalah seperti orang beriman) “atau tidak mau” (sperti orang munafiq dan orang yang ditakut-takuti (untuk sujud)  dengan pedang).

Dalam kitab ihya ulumuddin (jilid I, bab Kitab susunan wirid dan uraian menghidupkan malam) ayat ini merupakan salah satu wirid yang dibaca pada pada waktu petang.

2. Dalam Tafsir qurtubi
Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya turut menjelaskan perkara yang sama bila mentafsirkan ayat tersebut. Sekiranya ingin dimaksudkan dari perkataan ‘man’ (siapa) dalam ayat tadi itu adalah ‘Allah’ maka tidak boleh dikatakan keberadaan Allah itu di langit kerana Allah tidak memerlukan langit tetapi memberi erti ‘kerajaan Allah’ BUKAN ‘zat Allah’. Maha suci Allah dari sifat makhlukNya.

3. Dalam tafsir jalalain ((penerbit darul basyair, damsyiq,halaman 523)

Imam suyuthi rah mengatakan :
“Yang dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i) dalam ayat tersebut adalah kekuasaan/kerajaan dan qudrat-Nya (Shulthonihi wa qudratihi )
jadi yang dilangit adalah kekuasaan dan qudratnya (Shulthonihi wa qudratihi ) bukan dzat Allah

sehingga penafsiran yang betul (dalam tafsir jalalain dan qurtubi) :

أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ

Apakah kamu merasa aman dengan Allah yang di langit (kekuasaan dan qudratnya) bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?, (Al-Mulk:16)

أَمْ أَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ

atau apakah kamu merasa aman dengan Allah yang di langit (kekuasaan dan qudratnya bukan dzat-Nya) bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku? (Al-Mulk:17)

2. MAKNA LAFADZ “WAJAH-NYA (WAJHAHU)”

artinya : “Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah-Nya”

Maknalafadz illa wajhahu (kecuali wajah-Nya)

al Imam al Bukhari berkata: “kecuali sulthan  (tasharruf  atau kekuasaan-) Allah”.

Al Imam Sufyan ats-Tsauri mengatakan: “…Kecuali amal shaleh yang dilakukan hanya untuk mengharap ridla Allah”.

3. Makna Hadits Jariyah (fissama-i)

Sedangkan salah satu riwayat hadits Jariyah yang zhahirnya memberi
persangkaan bahwa Allah ada di langit, maka hadits tersebut tidak
boleh diambil secara zhahirnya, tetapi harus ditakwil dengan makna
yang sesuai dengan sifat-sifat Allah, jadi maknanya adalah Dzat yang sangat tinggi derajat-Nya
sebagaimana dikatakan oleh ulama
Ahlussunnah Wal Jama’ah, di antaranya adalah al Imam an-Nawawi
dalam Syarh Shahih Muslim
. Sementara riwayat hadits Jariyah yang
maknanya shahih adalah:

Al Imam Malik dan al Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya salah seorang sahabat Anshar datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam dengan membawa seorang hamba sahaya berkulit hitam, dan berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya saya mempunyai kewajiban memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin, jika engkau menyatakan bahwa hamba sahaya ini mukminah maka aku akan memerdekakannya, kemudian Rasulullah berkata kepadanya: Apakah engkau bersaksi tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah? Ia (budak) menjawab: “Ya”, Rasulullah berkata kepadanya: Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah Rasul (utusan) Allah? Ia menjawab: “Ya”, kemudian
Rasulullah berkata: Apakah engkau beriman terhadap hari kebangkitan setelah kematian? ia menjawab : “Ya”, kemudian Rasulullah berkata: Merdekakanlah dia”.


Al Hafizh al Haytsami (W. 807 H) dalam kitabnya Majma’ az-
Zawa-id Juz I, hal. 23 mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih”. Riwayat
inilah yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan dasar ajaran Islam,
karena di antara dasar-dasar Islam bahwa orang yang hendak masuk
Islam maka ia harus mengucapkan dua kalimat syahadat, bukan yang
lain.

4. lafadz mutasyabihat biaidin (dengan tangan)

 

Artinya : ” Dan langit, kami membinanya dengan Tangan(Kekuasaan)  Kami….” (Qs adzariyat ayat 47)

Ibnu Abbas mengatakan: “Yang dimaksud lafadz  ِبأَيد  (biaidin) adalah
“dengan kekuasaan“, bukan maksudnya tangan yang merupakan
anggota badan (jarihah) kita, karena Allah maha suci darinya.

Lihat rujukan dalam kitab Tafsir mu’tabar :

Allah SWT telah berfirman dalam Adzariyat : 47

وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ

nah bagaimana tafsir Qurtuby atas hal ini :

لَمَّا بَيَّنَ هَذِهِ الْآيَات قَالَ : وَفِي السَّمَاء آيَات وَعِبَر تَدُلّ عَلَى أَنَّ الصَّانِع قَادِر عَلَى الْكَمَال , فَعَطَفَ أَمْر السَّمَاء عَلَى قِصَّة قَوْم نُوح لِأَنَّهُمَا آيَتَانِ . وَمَعْنَى ” بِأَيْدٍ ” أَيْ بِقُوَّةٍ وَقُدْرَة . عَنْ اِبْن عَبَّاس وَغَيْره .

kemudian bagaiman ia dalam tafsir Thobary sbb :

الْقَوْل فِي تَأْوِيل قَوْله تَعَالَى : { وَالسَّمَاء بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ } يَقُول تَعَالَى ذِكْرُهُ : وَالسَّمَاء رَفَعْنَاهَا سَقْفًا بِقُوَّةٍ . وَبِنَحْوِ الَّذِي قُلْنَا فِي ذَلِكَ قَالَ أَهْل التَّأْوِيل . ذِكْرُ مَنْ قَالَ ذَلِكَ : 24962 – حَدَّثَنِي عَلِيّ , قَالَ : ثنا أَبُو صَالِح , قَالَ : ثني مُعَاوِيَة , عَنْ عَلِيّ , عَنِ ابْن عَبَّاس , قَوْله : { وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ } يَقُول : بِقُوَّةٍ.

kemudian dalam surat Al-Fath : 10

يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ

Al-Qurthubi telah menukil pendapat Ibn Kisan sbb :

قِيلَ : يَده فِي الثَّوَاب فَوْق أَيْدِيهمْ فِي الْوَفَاء , وَيَده فِي الْمِنَّة عَلَيْهِمْ بِالْهِدَايَةِ فَوْق أَيْدِيهمْ فِي الطَّاعَة . وَقَالَ الْكَلْبِيّ : مَعْنَاهُ نِعْمَة اللَّه عَلَيْهِمْ فَوْق مَا صَنَعُوا مِنْ الْبَيْعَة . وَقَالَ اِبْن كَيْسَان : قُوَّة اللَّه وَنُصْرَته فَوْق قُوَّتهمْ وَنُصْرَتهمْ

kemudian seperti mana pula yang dinukil dalam At-Thobary

وَفِي قَوْله : { يَد اللَّه فَوْق أَيْدِيهمْ } وَجْهَانِ مِنْ التَّأْوِيل : أَحَدهمَا : يَد اللَّه فَوْق أَيْدِيهمْ عِنْد الْبَيْعَة , لِأَنَّهُمْ كَانُوا يُبَايِعُونَ اللَّه بِبَيْعَتِهِمْ نَبِيّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ; وَالْآخَر : قُوَّة اللَّه فَوْق قُوَّتهمْ فِي نُصْرَة رَسُوله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , لِأَنَّهُمْ إِنَّمَا بَايَعُوا رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى نُصْرَته عَلَى الْعَدُوّ.

5. Makna surat al fajr 22
Begitu juga Imam Ahmad bin Hanbal yang merupakan ulama Salaf telah mentakwilkan ayat 22, Surah al-Fajr seperti yang diriwayatkan secara bersanad yang sahih oleh Imam Bayhaqiyy dalam kitab Manaqib Ahmad dari Imam Ahmad mengenai firman Allah:

“Dan telah datang Tuhanmu”

ditakwilkan oleh Imam Ahmad dengan: “Telah datang kekuasaan Tuhanmu“.

6. hadith al-dhahik (ketawa)

berkata:  “Al-Bukhariyy telah mentakwilkan hadith al-dhahik (ketawa) dengan erti rahmat dan redha.”

7. Hadis tentang isra mi’raj dan “Langit ” sebagai Kiblat Do’a Bukan “Tempat bersemayam dzat Alah”

As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk

Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata: “Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya).
Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arahpenjuru tersebut”.
Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah).

Diambil dalil dari perkataan tersebut bahwasanya bukanlah maksud dari mi’raj bahwa Allah berada di arah atas lalu Nabi
Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam naik ke atas untuk bertemu dengan-Nya, melainkan maksud mi’raj adalah memuliakan Rasulullah shalalllahu ‘alayhi wasallam dan memperlihatkan kepadanya keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an surat al Isra ayat 1. Juga tidak boleh berkeyakinan bahwa Allah mendekat kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam sehingga jarak antara keduanya dua hasta atau lebih dekat, melainkan yang mendekat kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam di saat mi’raj adalah Jibril ‘alayhissalam, sebagaimana diriwayatkan oleh al Imam al
Bukhari (W. 256 H) dan lainnya dari as-Sayyidah ‘Aisyah -semoga Allah meridlainya-, maka wajib dijauhi kitab Mi’raj Ibnu ‘Abbas dan Tanwir al Miqbas min Tafsir Ibnu ‘Abbas karena keduanya adalah kebohongan belaka yang dinisbatkan kepadanya.
Sedangkan ketika seseorang menengadahkan kedua tangannya ke arah langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah
berada di arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ka’bah. Hal ini tidak berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka’bah adalah kiblat shalat.

Penjelasan seperti ini dituturkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti al Imam al Mutawalli (W. 478 H) dalam kitabnya al Ghun-yah, al Imam al Ghazali (W. 505 H) dalam kitabnya Ihya ‘Ulum ad-Din, al Imam an-Nawawi (W. 676 H) dalam
kitabnya Syarh Shahih Muslim, al Imam Taqiyy ad-Din as-Subki (W.756 H) dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil dan masih banyak lagi.
Perkataan al Imam at-Thahawi tersebut juga merupakan bantahan terhadap pengikut paham Wahdah al Wujud yang berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya atau pengikut paham Hulul yang berkeyakinan bahwa Allah menempati
makhluk-Nya. Dan ini adalah kekufuran berdasarkan Ijma’ (konsensus) kaum muslimin sebagaimana dikatakan oleh al Imam as-
Suyuthi (W. 911 H) dalam karyanya al Hawi li al Fatawi dan lainnya, juga para panutan kita ahli tasawwuf sejati seperti al Imam al Junaid al Baghdadi (W. 297 H), al Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H), Syekh Abdul Qadir al Jilani (W. 561 H) dan semua Imam tasawwuf sejati, mereka selalu memperingatkan masyarakat akan orang-orang yang berdusta sebagai pengikut tarekat tasawwuf dan meyakini aqidah Wahdah al Wujud dan Hulul.

8. Ayat mutasyabihat tentang “Nur” atau Cahaya (Ayat 35 Surat an-Nur)

Dan begitulah seluruh ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan kepada ayat-ayat muhkamat dan tidak boleh diambil secara zhahirnya. Seperti firman Allah ta’ala dalam surat an-Nur: 35

tidak boleh ditafsirkan bahwa Allah adalah cahaya atau Allah adalah sinar. Karena kata cahaya dan sinar adalah khusus bagi makhluk. Allah-lah yang telah menciptakan keduanya, maka Ia tidak menyerupai keduanya. Tetapi makna ayat ini, bahwa Allah menerangi langit dan bumi dengan cahaya matahari, bulan dan bintang-bintang. Atau maknanya, bahwa Allah adalah pemberi petunjuk penduduk langit, yakni para malaikat dan pemberi petunjuk orang-orang mukmin dari golongan manusia dan jin, yang berada di bumi yaitu petunjuk kepada keimanan. Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Abdullah ibn Abbas –semoga Allah meridlainya- salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam. Takwil ini diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma’ Wa as-Shifat. Dengan demikian kita wajib mewaspadai kitab Mawlid al ‘Arus yang disebutkan di dalamnya bahwa “Allah menggenggam segenggam cahaya wajah-Nya kemudian berkata kepadanya: jadilah engkau Muhammad, maka ia menjadi Muhammad”. Ini adalah kekufuran wal ‘iyadzu billah karena menjadikan Allah sebagai cahaya dan nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam bagian dari-Nya. Kitab ini merupakan kebohongan yang dinisbatkan kepada al Hafizh Ibn alJawzi, tidak seorangpun menisbatkannya kepada al Hafizh Ibn al Jawzi kecuali seorang orientalis yang bernama Brockelmann.

9. Hadis mutasyabihat  tentang Jiwa anak adam dan “Jari-jari Arrahman”

Makna Hadis mutaysabihat :  ” Hati anak adam berada dalam jari-jari Arrahman”

Makna sebenarnya : Hati atau jiwa anak Adam di bawah qudrah (kekuasaan) Allah Ta’ala, jika Allah mahu memberi hidayah
kepadanya maka dia akan mendapat hidayah dan jika Allah mahu sesatkannya dia akan sesat

Dalilnya :

Hadis:
Maknannya: ” Dialah Allah yang mengubah mengikut kehendakNya”.
Dan hadis Nabi:

Maksudnya: Hati Manusia dibawah pengaturan Ar-rahman”. (H.R Tarmizi)
Maksud hadis ini ialah hati-hati anak Adam di bawah kuasa Allah Ta’ala.

Kesesatan wahaby :

wahaby artikan  jari dalam makna dhahir katakan, Buktinya :

Usaimin berkata: “hati anak-anak Adam itu semuanya berada diantara dua jari dari jari-jari Ar Rahman dari segi hakikinya dan

ianya tidak melazimi penyentuhan dan penyatuan” (Kitab: Qawa’idul Mithly, Karangan Usaimin, m/s : 51, Riyadh).

10.  Hadis “Berjalan dan Berlari”

Allah berfirman dalam hadis qudsi : “Jika hambaku datang mendekatiku dengan berjalan, makaAku akan mendekatinya dengan berlari” (hadis riwayat tabrani,  al bazzar, al baihaqi, ibnu majah, ibnu hibban dan lainnya)

maksud hadis tersebut adalah :

Jika hambaku datang mendekatiKu dengan berjalan, maka Aku akan mendekatinya dengan berlari, yakni jika seseorang hamba menuju kepada Allah swt, maka rahmat Allah akan lebih cepat kepadanya dan ia melimpahi kekurniaanya padanya . (Syaikhul Hadis Muhammad Zakariya, Fadhilah dzikir, keterangan hadis ke 1, halaman 28, Era ilmu kuala lumpur).

11. Hadis Nuzul (turun kelangit pertama)

“Pada sepertiga malam terakhir Allah akan turun kelangit pertama…..”

“Pada hari arafah  Allah akan turun kelangit pertama…..”

makna hadis tersebut adalah  rahmat Allah yang begitu dekat pada waktu-waktu tersebut, sehingga waktu tersebut menjadi lebih utama untuk berdo’a.jadi  Bukan dzat Allah yang turun (Fadhilah Haji, Syaikhul hadis Muhammad Zakariya)

AKIDAH IMAM ABU HANIFAH (ulama As-Salaf sebenar)

Oleh: Abu Syafiq

Imam Abu Hanifah (w150h) merupakan ulama Islam yang dikategorikan sebagai ulama Salaf iaitu yang hidup sebelum 300H. Beliau merupakan ulama Islam yang hebat dan cukup mementingkan ilmu akidah. Inilah keutamaan para ulama Islam memastikan ilmu akidah Islam sebenar tersebar luas moga-moga dengan itu ilmu Islam yang lain lebih tersusun dengan benarnya akidah yang dibawa oleh para pendakwah.

IMAM ABU HANIFAH NAFIKAN SIFAT BERTEMPAT/DUDUK/BERSEMAYAM BAGI ALLAH.

Perkataan ‘semayam atau bersemayam’ lebih membawa erti yang tidak layak bagi Allah iaitu duduk atau bertempat. Sifat duduk dan bertempat merupakan sifat yang dinafikan oleh para ulama kepada Allah kerana ianya bukan sifat Allah.
Maha suci Allah dari sifat duduk atau bertempat.
Istawa apabila disandarkan kepada Allah sebaiknya diterjemahkan dengan mengunakan kaedah “tafsir ayat dengan ayat” kerana itu merupaka kaedah yang disepakati keutamaannya oleh seluruh ulama Islam.

Apabila Istawa datang dengan makna Qoharo iaitu menguasai dan pada waktu yang sama Allah juga menyifatkan diriNya dengan Qoharo maka tidak salah sekiranya Istawa disitu diterjemahkan dengan Menguasai kerana sudah dan pastinya Maha Menguasai itu adalah sifat Allah.
Manakala duduk atau bersemayam yang bererti mengambil tempat untuk duduk maka itu sudah pasti BUKAN sifat Allah.

Penyelesaian bagi pergaduhan bersejarah tentang makna ayat tersebut pengubatnya adalah dengan menolak zahir maknanya dan tidak mentafsirkan dengan sifat duduk atau bertempat kerana tiada dalil sahih dari Al-Quran mahupun Hadith menyatakan Allah itu bersifat duduk mahupun bertempat.

Ulama Islam mengthabitkan sifat Istawa bagi Allah tanpa menetapkan tempat bagi Allah. Begitu juga mereka menetapkan bagi Allah sifat Istawa dalam masa yang sama menafikan erti bersemayam/duduk bagi Allah.
Perkara ini telah dijelaskan secara nasnya (teks) oleh Imam As-Salaf sebenar iaitu Imam Abu Hanifah sendiri telah menafikannya sifat duduk/bersemayam dan menafikan sifat bertempat atas arasy bagi Allah.

IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY.
Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas) :

“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat beliau.

Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.

Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.

2. Imam Asy’Ary
Dalam Semua kitab2 aqidah beliau semakna dgn aqidah yang dpegang university Alashar dan aswaja seluruh dunia.
Termasuk dalam kitab terakhir Beliau ,kitab Al ibanah.

3. Fatwa Imam syafei tentang akidah Allah Ada Tanpa Tempat dan Arah
(Akidah Mayoritas Muslim Di dunia, akidah ulama2 University Al ashar)

INILAH BUKTI BAHAWA ORANG YANG BERAKIDAH YAHUDI : “ALLAH DUDUK” ADALAH KAFIR DISISI SELURUH ULAMA ISLAM BERDASARKAN KATA IMAM SYAFIE’.

ابنُ المُعلِّم القُرَشيّ ترجَمهُ الحافظُ ابنُ حجرٍ في كتابِهِ الدُّرَرِ الكامنةِ في أعيانِ المائةِ الثامنة الجزءِ الرابع: ص 197 قالَ ما نصُهُ:

محمدُ بنُ محمدِ بنِ عثمانَ بنِ عمرَ بنِ عبدِ الخالقِ بنِ حسنٍ القرشيُّ المِصريُّ فخرُ الدينِ بنُ مُحيي الدينِ المعروفُ بابنِ المُعلمِ ولدَ في شوالٍ سنةَ 660 هـ.

وسمع منَ ابنِ عَلاق مجلسَ البِطاقةِ ومن ابنِ النَّحاسِ مَشيختَهُ تخريجَ منصورِ بنِ سليمٍ ومن عبدِ الهادي القَيسي والنَّجيبِ الحَرَّانيِّ وغيرِهم وحدَّثَ وكانَ فاضلاً حفظَ المقامات وَولِيَ قضاءَ بلدِ الخليلِ وأَذرِعات وأعادَ بالبادِرائية وكان جوادًا لهُ مُصَنَّفاتٌ ونَظمٌ وماتَ في جُمادى الآخرةِ سنة 725 هـ بدمشقَ.

وفي كتابِ نجمِ المُهتدي لابنِ المُعلمِ القُرشيِّ ص 551: وهذا مُنتَظمٌ مَن كفرُهُ مُجمعٌ عليهِ ومن كفَّرناهُ من أهلِ القِبلةِ كالقائلينَ بخلقِ القرءانِ وبأنهُ لا يعلمُ المَعدوماتِ قبلَ وجودِها ومن لا يُؤمنُ بالقدرِ وكذا من يعتقدُ أن اللهَ جالسٌ على العرشِ كما حكاهُ القاضي حُسينٌ عن نصِّ الشافعيِّ.

Terjemahan pada teks yang telah dihitamkan: ” Begitu juga kafir sesiapa yang berakidah Allah duduk atas Arasy berdasarkan teks kenyataan oleh Imam Syafie’ yang disebut oleh Al-Qodhi Husain”.

وفي كتاب نجمِ المُهتدي لابنِ المُعلم القرشيِ ص 588: عن عليٍّ رضي الله عنه قال: “سيَرجِعُ قومٌ من هذه الأُمَّةِ عند اقترابِ الساعةِ كفارًا قال رجلٌ يا أميرَ المؤمنينَ كُفرُهُم بماذا أبالإحداثِ أم بالإنكارِ؟ فقال: بل بالإنكارِ يُنكرونَ خالقَهم فيصفونَه بالجسمِ والأعضاءِ”.

القاضي حسينٌ من أكابرِ أصحاب الإمامِ الشافعي، قال الإمام عبدُ الكريمِ الرافعيُّ: كانوا يلقبونهُ حبرَ الأمةِ.

فبعد هذا لا يلتفت إلى كلام بعض الشافعيين وغيرهم ممن لم يكفروا المجسّمة، وذلك لثبوت كفر المجسمة بدليل قوله تعالى {ليس كمثله شىء}. وكيف يسوغ لشافعي أن يخالف إمامَه (الذي كفّر من وصف الله بالجسم) في مسئلة إجماعيّة؟!

4. Imam Ahmad Bin Hambal Kata Allah Tidak Berjisim:
Dalam kitab Iktiqod Imam Ahmad pada mukasurat 7-8 dinayatakan : “ Tidak harus menyandarkan jismiyyah kepada Allah kerana Allah tidak berjisim”.
Imam Ahmad juga menyatakan:” “ Sesiapa yang mengatakan Allah itu jisim ataupun Allah itu jisim tapi tak serupa dengan jisim-jisim maka dia telah KAFIR ( ini kerana jisim bukanlah sifat Allah )”.

4. Imam Abu Hanifah Kata Allah Tidak Berjisim:
Dalam kitab akidah Imam Abu Hanifah yang masyhur berjudul Fiqhul Akbar menyatakan:

إثباتُهُ بلا جسمٍ
“ Dan hendaklah menetapakan bahawa Allah tidak berjisim”.

5. Imam Abu Hasan Al-Asya’ry menyatakan dalam kitabnya berjudul An-Nawadir :
“ Al-Mujassim Jahil Birobbihi Fahuwa Kafirun Birobbihi” kenyataan Imam Abu Hasan Al-Asy’ary tersebut bermaksud :“ Mujassim ( yang mengatakan Allah itu berjisim) adalah jahil mengenai Tuhannya, maka dia dikira kafir dengan Tuhannya ”.
6. Imam As-Syafie Kata Allah Tidak Berjisim:
Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (wafat 725) dalam kitab Najmul Muhtadi menukilkan dari Al-Qodi Husain bahawa Imam Syafie menyatakan :“ Sesiapa beranggapan Allah duduk (berjisim) diatas arasy maka dia KAFIR ”.

Dan ramai serta jutaan ulama islam lagi yang menyatakan akidah islam antaranya adalah Allah Tidak Berjisim.

7. Dr. Yusuf Qardawi sendiri yang mengatakan bahkan mengajar kepada orang awam bahawa Allah Tidak berjisim:
Berkata Dr. Yusuf Qardawi dalam Majalah Mujtama’, Bilangan 1370, Tarikh 25 Jamadul Akhir/1420 Bersamaan 5/10/1999M
Yang mana majalah tersebut dibaca oleh orang yang alim dan masyarakat umum:
فليس مما يوافق الكتاب والسنة جمعها في نسق واحد يوهم تصور ما لا يليق بكمال الله تعالى ، كما يقول بعضهم : يجب أن تؤمن بأن لله تعالىوجها ، وأعينا ، ويدين ، وأصابع ، وقدما ، وساقا ، .. إلخ ، فإن سياقها مجتمعة بهذه الصورة قد يوهم بأن ذات الله تعالى وتقدس كلٌّ مركب من أجزاء ، أو جسم مكون من أعضاء ..ولم يعرضها القرآن الكريم ولا الحديث الشريف بهذه الصورة ، ولم يشترط الرسول لدخول أحد في الإسلام أن يؤمن بالله تعالى بهذا التفصيل المذكور .
Erinya: ” Maka bukanlah dikira sebagai perkara yang dipersetujui oleh Al-Quran dan As-Sunnah dengan mengumpulnya dalam satu bahagian membawa kepada gambaran yang tidak layak bagi kesempurnaan Allah ta’aal seperti yang dilakukan oleh sebahagian orang mereka mengatakan: Wajib beriman bagi Allah itu wajah, mata, dua tangan, jari, kaki, betis dan lain-lain.
Ini kerana kenyataan seperti ini mengambarkan kesilapan
yang besar bagi zat Allah itu bercantuman dengan bahagian-bahagian ataupun ianya membawa kepada Allah itu berjisim”.

8. Ibnu Taimiyah Ahirnya Bertobat Dari Akidahnya Yang Salah kembali pada akidah Allah Ada Tanpa Tempat Dan Arah

jangan sampai menjadikan buku2 ibnu taimiyah sebagai rujukan dalam perkara2 aqidah karena kitab2 karangan beliau yang beredar sekarang masih berisi ttg aqidah beliau yang salah…..

 

Blog di WordPress.com.